Remaja yang melakukan pernikahan di bawah umur , tugas-tugas perkembangan alaminya tidak terselesaikan. Tugas-tugas perkembangan remaja terbentur karena tanggung jawabnya sebagi ibu rumah tangga. Oleh karena itu remaja putri yang menikah muda harus lebih dapat menyesuaikan diri dalam pernikahannya, dimana ia harus lebih mengutamakan keluarganya dibandingkan dengan keinginan-keinginannya. Dalam penelitian ini penulis juga mencoba menggali informasi mengenai penyesuaian diri pada remaja putri yang menikah muda. Patut diakui meskipun sejak era Kartini hingga sekarang kalangan perempuan berusaha memperjuangkan dirinya, masih juga dirasakan adanya kesenjangan antara kaum perempuan dan laki-laki. Seperti halnya perkawinan di usia muda di Gunung kidul. Korban pernikahan di bawah umur kebanyakan adalah memang anak perempuan. Akibatnya sumber daya manusia kaum perempuan relative lebih rendah dari kaum lelaki. Meskipun tidak semata-mata karena perkawinan, banyak perempuan usia SMU yang putus sekolah menyebabkan rendahnya tingkat sumber daya manusia (SDM) di kalangan perempuan. Padahal, hanya dengan pendidikan lebih tinggi (minimal SMU), pola pikir kaum wanita akan berubah modern, ber-SDM tinggi dan mampu bersaing dengan kaum laki-laki.
Berbagai peringatan yang berbunyi seperti "awas jadi perawan tua", "banyak anak banyak rezeki", "jika anakmu akil balig, cepat-cepat kawinkan", "mau tidak mau perempuan adalah pekerja dapur" dan sebagainya, menambah kuat adat kawin muda di Pedesaan . Kondisi ini banyak dijumpai di pedesaan, dan sangat mempengaruhi jenis pekerjaan yang digeluti perempuan.
Penyebab dilema kesenjangan adalah kemiskinan. Akibat kemiskinan ini terjadi perubahan pola konsumsi, dengan lebih memfokuskan pada sektor makanan. Sektor nonmakanan seperti pendidikan, kurang diperhatikan. Dari sisi lain, hasil Survei Sosial Daerah (Susoda) 2002 mencatat lebih dari 40 persen anak usia sekolah (5-18 tahun) yang mengalami drop out (putus sekolah) akibat masalah biaya. Tetapi, hal yang cukup mengherankan terdapat alasan karena merasa pendidikannya sudah cukup (Badan Pusat Statistik, 2002, DI Yogyakarta).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa masih ada kelompok masyarakat yang belum memahami pentingnya pendidikan. Pada keluarga miskin juga sering dijumpai prinsip lebih mementingkan pendidikan anak laki-lakinya dibandingkan pendidikan untuk perempuan. Asumsi mereka, anak laki-laki merupakan calon penopang hidup, sedangkan anak perempuan adalah calon pengurus rumah tangga/dapur.
Penyebab kesenjangan adalah minimnya lapangan usaha untuk perempuan. Untuk menciptakan "Kartini-Kartini" modern, tentunya tiga hal di atas harus dipertimbangkan dengan saksama. Jika tidak, perjuangan kalangan perempuan untuk setara dengan kalangan laki-laki memakan waktu berpuluh-puluh tahun.
Untuk melihat selengkapnya dari tujuan penelitian, permasalahan, metode , dasar teori dan daftar pustaka silahkan hubungi kami melalui email
No comments:
Post a Comment