Saturday 12 April 2014

Akhir Dinasti Politik, PILEG PILPRES 2014, Antara Jokowi ARB PRABOWO

Menjadi sebuah catatan saya ketika pileg 2014 selesai dan akhir pemerintahan SBY adanya pertumbuhan ekonomi dan indeks demokrasi baik, pembangunan obyek vital semisal  rel ganda dan bandara bandara baru yang bagus. Namun malah wajah yang suram itu ada pada partai, dimana partai dianggap sebagai lahan atau kendaraan memperoleh materi dan kekuasaan dimana para caleg berlomba mendapatkan suara dengan berbagai cara. Tetapi jangan pesimis dulu diamana ada sedikit perubahan positif dimana ada gejala sebuah akhir dari politik dinasti,dimana kemudian ada masalah tokoh lama yang akan ditinggalkan pemilih. Memang agak paradoks  bila kita bicara yang tua boleh sih punya pikiran muda.. tinta

Supaya empat bulan menuju pilpress peranan civil sociaty itu kian terlihat  misalnya media massa,  pakar menulis buku ,koran atau media online dalam rangka mencerdaskan demokrasi . Yang  menjadi fenomena saat ini adalah munculnya Jajak pendapat dari berbagai lembaga survey. Secara tidak langsung munculnya tokoh baru seperti Joko Widodo atau dikenal Jokowi karena ada jajak pendapat itu. Jokowi muncul  dengan elektabilitas survey yang tinggi dibanding yang lain, berurutan muncul    dilanjutkan  Prabowo , ARB dan seterusnya yang bisa diurut . Disamping itu  partai yang menang pun  bisa diurut dengan metode quick count tanpa harus menunggu lama lama dari KPU. Ini adalah suatu “rekayasa ( dalam tanda petik) mengarahkan supaya publik itu menjadi cerdas. Memang Selama reformasi ini betul ada pencapaian positiif salah satu yang terpenting adalah keterbukaan adalah sudah luar bisa. Dengan keterbukaan inilah barangkali Orang bisa diliat dan nilai, partai pun bisa diliat dan nilai dan capres bisa diliat dan nilai termasuk pemerintah juga pun bisa dinilai.  Masyarakat mempunyai daya kritis semakin tinggi  walaupun tingkat pendidikan relatif rendah , karena setiap hari katakanlah “dicekoki” oleh opini publik, pendapat tokoh, dengan pendapat survey lama lama mereka berfikir menentukan  pilihannya. Ini kita bisa dilihat hasil Pileg 2014 seolah-olah elektabilitas tidak identik popularitas karena dibawah permukaan itu  ada kesadaran rakyat yang sudah tumbuh  dimana mohon maaf jika mungkin uang diterima tapi belum tentu dipilih. Masyarakat memlilih akan memilih dengan memilhat  ketulusan dari calon itu. Kelebihan tokoh baru yang lagi fenomenal itu  daripada yang lain adalah setidak tidaknya lebih tulus , dikritik tidak ada apa, dibanding di tokoh lain yang lain defensif cepat marah,   ada konsipirasi tingkat tinggi dan sebagainya. Nah hal ini akan  dinilai oleh masyarakat sendiri untuk menentukan pilihan mereka berkat demokrasi yang sudah berjalan ini sudah memberikan dampak yang bagus . Nah saya berharap   demokrasi sudah berjalan baik (walaupun belum ideal) sehingga rakyat semakin cerdas tidak salah pilih  maka berharap 2014 lebih baik daripada masa lalu..

Kalau saya perhatikan tidak adaya tidak bisa diganti atau tidak ada yang langgeng. Hal ini terbukti PDIP tidak mengangkat trah Sukarno sebagai capresnya. Apakah itu terpaksa tidak terpaksa adalah memang fakta, saya kira orang lain akan begitu bagaimana orang mengatakan anti dinasti padahal dirinya dinasti yang bagaimana nisa dipercayat . Itulah yang  harus dicermati oleh elit elit politik di senayan nantinya bahwa perombakan UU nanti mengacu pada bagaimana kualitas integritas dari orang yang akan dipilih itu . Proses ini sangat mengalir dari sebuah proses demokrasi yang merupakan cita cita pendiri bangsa ini.  Beharap tahun 2019 dimana sistem UU pemilu perbaiki yang menuju demokromasi yang dicitakan yaitu demokrasi gotong royong bukan demokrasi indicidual atau kelompok . Sehingga tidak tepat  menamai  oposisi tetapi sebagai sparing patner untuk membangun bangsa sehingga menjuju cita cita negara sila ke lima  yaitu adanya keadilan ,  pertumbuhan ekonomi tidak ada artinya jika tidak ada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Inodonesia.

0 comments: